Wednesday, October 26, 2011

Sudut Pandang (1)

Jika pada tulisan mindset (1), (2) dan (3) telah dibahas sekilas hal-hal mengenai positive mindset, pada tulisan kali ini saya akan membahas mengenai sudut pandang. Sudut pandang dan mindset (pola pikir) sepertinya memang beda tipis namun dalam tulisan ini saya akan membahas dari perspektif lain. Cerita berikut mungkin akan membantu kita bagaimana menemukan definisi dari sudut pandang tersebut.

Alkisah di negeri dongeng para binatang. Seekor kura-kura dalam perjalanan pulang dari pesta malam para hewan terperosok masuk ke dalam lubang yang tidak begitu dalam. Dengan sekuat tenaga kura-kura tersebut berusaha untuk melompat keluar lubang namun tidak pernah berhasil, ia berteriak minta tolong dan datanglah hewan-hewan lain yang kebetulan melihatnya. Kelinci dengan hati-hati menjulurkan telinganya yang panjang untuk dijadikan pegangan kura-kura namun tidak berhasil mengangkatnya, kemudian burung elangpun mencoba mengangkat dengan cakar kakinya namun tidak berhasil. Sampai akhirnya gajah datang dan mencoba menjulurkan belalainya namun tidak bisa masuk ke lubang tempat dimana kura-kura jatuh.

Kura-kura yang selama ini merasa tidak pernah bisa melompat tinggi dan bantuan hewan lainnya yang tidak juga membuahkan hasil membuat kura-kura makin pesimis bahwa dia tidak bisa keluar dari lubang tersebut. Dalam kondisi putus asa, kura-kura kemudian menyampaikan kepada hewan lain yang berusaha menolongnya bahwa ia sudah pasrah dan tidak usah ditolong lagi karena sepertinya usaha yang dilakukan akan sia-sia. Kura-kura sudah siap mati di lubang tersebut. Kura-kura kemudian memasukan kepala dalam tempurungnya sambil terlihat sedih yang begitu mendalam. Dalam keheningan malam tersebut tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dan tanah di sekitar lubang dimana kura-kura berada bergetar dengan kuat. Suara roda traktor besar itu sudah sangat dikenal oleh kura-kura dan binatang lainnya. Mendengar bunyi gemuruh roda traktor tersebut hewan lain yang menunggu kura-kura di atas lubang langsung melompat menyelamatkan diri dan kura-kura yang tadinya sudah sangat lemah dan begitu pasrah tiba-tiba melompat sekuat tenaga dan ia terkaget kaget bisa keluar dari luang tersebut. Demikian juga binatang lain terkaget kaget dan bertanya bagaimana kura-kura bisa melompat keluar dari lubang. Menjawab pertanyaan hewan lain, kura-kura berkata ”memang awalnya saya tidak bisa, namun saya HARUS bisa”.

Nah, apa yang dialami kura-kura dalam cerita di atas sebenarnya banyak terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Terkadang kita merasa tidak bisa karena tidak pernah melakukan hal-hal diluar sudut pandang yang kita anut. Sudut pandang kita terkadang begitu sempit hingga kita terkungkung dengan pengalaman masa lalu dan kebiasaan yang sudah berjalan. Terkadang kita harus dipaksa untuk bisa melakukan sesuatu padahal seharusnya kita memang bisa. Jika demikian maka sebenarnya kita sedang dikendalikan oleh pikiran kita, buka kita yang mengendalikan pikiran. Padahal jika kita bisa mengendalikan pikiran maka sebenarnya begitu besar potensi dan kemampuan yang kita miliki, begitu banyak solusi yag bisa kita lakukan untuk menyelesaikan masalaah. Jika pikiran yang mengendalikan kita maka seringkali masalah terlihat begitu besar. Namun jika kita bisa mengendalikan pikiran maka masalah itu sebenarnya begitu kecil dan pasti ada solusi untuk menyelesaikannya.


Untuk menguji sejauh mana sudut pandang yang ada pada pikiran kita, mari kita coba test dengan permaian kecil dengan menggunakan sembilan (9) titik sebagaimana gambar disamping. Pada gambar tersebut terdapat sembilan titik yang disusun membentuk bujur sangkar. Dengan menggunakan alat tulis, hubungkan kesembilan titik tersebut dengan 4 garis lurus tanpa putus dan tanpa mengangkat alat tulisnya. Solusi atas permainan kecil ini akan disampaikan pada posting artikel berikutnya.

 

Follow me on twitter @aguspri78


Reference : Life is Choice, Parlindungan Marpaung.


Selengkapnya...

Tuesday, October 25, 2011

“Monkeys Demand Equal Pay”

Sebuah penelitian terhadap perilaku monyet dilakukan dengan perlakukan sebagai berikut:
  • Beberapa monyet dilatih untuk menukarkan mata uang logam dengan sebuah mentimun. Ketika imbalan yang diberikan sama (1 mentimun = 1 mata uang logam) maka monyet-monyet tersebut dapat membawa sampai 95% mentimun yang ada.
  • Setelah beberapa waktu, seekor monyet diberikan imbalan yang lebih baik berupa anggur, sementara monyet lainnya diberikan imbalan seperti semula.
  • Setelah perlakuan tersebut, sebagian besar monyet melemparkan uang logam yang diberikan dan sebagian monyet menolak membawa mentimun dan memberikannya kepada monyet lainya.
  • Penelitian tersebut menunjukan bahwa monyet-monyet tersebut tidak mau berkontribusi lebih baik ketika ada perlakuan yang tidak adil diantara mereka.

Apa yang terjadi pada percobaan terhadap monyet-monyet tersebut pada kenyataannya terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Banyak para peneliti Indonesia yang hijrah ke negeri tetangga juga merupakan bagian dari ketidakpuasan atas imbal jasa yang diterima, termasuk atas ketidakadilan secara internal sebagai sesama pegawai dalam lingkup pegawai negeri sipil. Seorang Profesor Riset yang telah menempuh pendidikan S2 dan S3 di luar negeri dengan Golongan IV/E mempunyai gaji yang lebih kecil dibandingkan seorang guru Sekolah Dasar, apalagi dibandingkan gaji petugas pajak seperti Gayus Tambunan yang baru masuk golongan III/A.

Coba baca sekilas artikel berikut :
Kompas, 25 Oktober 2011.

“Ketidakpedulian pemerintah terhadap kegiatan riset antara lain dibuktikan dengan rendahnya gaji profesor riset. Bahkan, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset yang berada dalam pangkat tertinggi golongan IV/E masih lebih rendah daripada gaji guru sekolah dasar di Jakarta dan sekitarnya.
Gaji pokok seorang profesor riset golongan IV/E di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, saat ini Rp 3,6 juta per bulan. Gaji ini ditambah tunjangan peneliti Rp 1,6 juta per bulan. ”Jadi, total gaji yang saya terima Rp 5,2 juta per bulan,” kata Prof Dr Ir Jan Sopaheluwakan, MSc, pakar ilmu kebumian yang sudah bekerja sekitar 30 tahun di LIPI.
Pendapatan seorang profesor riset yang menduduki jabatan struktural sedikit lebih tinggi karena mendapatkan tunjangan jabatan Rp 3,2 juta per bulan. ”Gaji pokoknya sama, Rp 3,6 juta per bulan, dan tidak bisa naik lagi karena sudah berada dalam golongan pangkat tertinggi IV/E,” kata Prof Dr Ir Bambang Subiyanto, MAgr, pakar biomateria yang juga Kepala Pusat Inovasi LIPI, di Jakarta, Senin (24/10/2011).
Meski mendapatkan tunjangan struktural, gaji profesor riset yang sudah menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di perguruan tinggi luar negeri tersebut tetap saja lebih rendah dibandingkan dengan gaji guru sekolah dasar di propinsi Jakarta yang mencapai Rp 7-8,5 juta (sudah sertifikasi guru) dan di propinsi banten yang mencapai Rp 6,5 juta (sudah sertifikasi guru)………..baca selengkapnya di harian Kompas, 25 Oktober 2011………….

Sistem imbal jasa / kompensasi yang ada di lingkup PNS saat ini masih sangat kaku dan tidak mendorong para pegawai untuk lebih termotivasi dalam meningkatkan kompetensi dan produktivitasnya. Lebih jauh dari itu, sistem pengelolaan SDM pegawai negeri sipil sudah sangat perlu untuk diperbaiki, baik dari sistem rekrutmen, penggolongan jabatan, kompensasi dan benefit serta pengelolaan kinerja pegawai.

Semua aspek dalam pengelolaan SDM pegawai saling berkaitan, dan pada akhirnya jika semua berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan jangka panjang untuk membangun negeri ini menjadi lebih baik maka diperlukan reformasi pengelolaan SDM pegawai secara keseluruhan dan berkelanjutan. Jangan seperti kondisi saat ini hanya fokus pada perbaikan remunerasi di beberapa kementerian sehingga dampak terhadap kinerja dan layanan yang dirasakan oleh masyarakat belum maksimal.

follow me on twitter @aguspri78

Selengkapnya...

Wednesday, October 19, 2011

Inikah Kisah Kasih Tak Sampai - Dahlan Iskan

Malam itu saya sudah di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Siap berangkat ke Amsterdam, Belanda. Tas sudah masuk bagasi. Saya cek lagi paspor untuk melihat dokumen imigrasi. Semua beres. Saya pun siap-siap sebentar lagi boarding. Istri saya sudah di Eropa tiga hari lebih dulu. Mendampingi anak sulung saya yang menjabat Dirut Jawa Pos, yang menerima penghargaan dari persatuan koran sedunia. Jawa Pos terpilih sebagai koran terbaik dunia tahun ini.

Saya pun kirim BBM kepada direksi PLN untuk memberitahu saat boarding sudah dekat. “Kapan pulangnya, Pak Dis?,” tanya seorang direktur. “Tanggal 21 Oktober. Setelah kabinet baru diumumkan,” jawab saya.“Ooh, ini kepergian untuk nge-lesi ya,” guraunya.
Saya memang tidak kepingin jadi menteri. Saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan PLN. Instansi yang dulu saya benci mati-matian ini telah membuat saya sangat bergairah dan serasa muda kembali. Bukan karena tergiur fasilitas dan gaji besar, tapi saya merasa telah menemukan model transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit untuk berubah. Saya juga tidak habis pikir mengapa PLN bisa berubah menjadi begitu dinamis. Beberapa faktor terlintas di pikiran saya.

Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang otaknya encer. Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep, roadmap sampai aplikasi teknisnya. Kedua, latar belakang pendidikan orang PLN umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa untuk berpikir logis. Ketiga, gelombang internal yang menghendaki agar PLN menjadi perusahaan yang baik/maju ternyata sangat-sangat besar. Keempat, intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal. Kelima, iklim yang diciptakan oleh Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.

Lima faktor itu yang membuat saya hidup bahagia di PLN. Dengan modal lima hal itu pula komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani membayangkan, akhir tahun 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi PLN.

Pada hari itu nanti, energy mix sudah sangat baik. Berarti penghematan bisa mencapai angka triliunan. Jumlah mati lampu sudah mencapai standar internasional untuk negara sekelas Indonesia. Penggunaan meter prabayar sudah menjadi yang terbesar di dunia. Ratio elektrifikasi sudah di atas 75%. Propinsi-propinsi yang selama ini dihina dengan cap “ayam mati di lumbung” sudah terbebas dari ejekan itu. Sumsel, Riau, Kalsel, Kaltim, Kalteng yang selama ini menjadi simbol “ayam mati di lumbung energi” sudah surplus listriknya.

Pada akhir tahun 2012 itu nanti, tepat tiga tahun saya di PLN, saatnya saya mengambil keputusan untuk kepentingan diri saya sendiri: berhenti! Saya ingin kembali jadi orang bebas. Tidak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan orang bebas. Apalagi orang bebas yang sehat, punya istri, punya anak, punya cucu dan he he punya uang! Bisa ke mana pun mau pergi dan bisa mendapatkan apa pun yang dimau. Saya tahu masa jabatan saya memang lima tahun, tapi saya sudah sepakat dengan istri untuk hanya tiga tahun.

Niat seperti itu sudah sering saya kemukakan kepada sesama direksi. Terutama di bulan-bulan pertama dulu. Tapi mereka melarang saya menyampaikannya secara terbuka. Khawatir menganggu kestabilan internal PLN. Mengapa? “Takut sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang memasang strategi mengincar kursi Dirut, ujarnya. “Bukan strategi memajukan PLN,” tambahnya. “Lebih baik, selama tiga tahun itu kita menyusun perkuatan internal agar sewaktu-waktu Pak Dis meninggalkan PLN kultur internal kita sudah baik,” katanya pula.

Saya setuju untuk menyimpan “dendam tiga tahun” itu. Organisasi sebesar PLN memang tidak boleh sering goncang. Terlalu besar muatannya. Kalau kendaraannya terguncang-guncang terus bisa mabuk penumpangnya. Kalau 50.000 orang karyawan PLN mabuk semua, muntahannya akan menenggelamkan perusahaan.

Sepeninggal saya ini pun tidak boleh ada guncangan. Saya akan mengusulkan ke Menteri BUMN yang baru untuk memilih salah satu dari direksi yang ada sekarang, yang terbukti sangat mampu memajukan PLN. Kalau di antara direksi sendiri ada yang ternyata berebut, saya akan usulkan untuk diberhentikan sekalian. Tapi tidak mungkin direksi yang ada sekarang punya sifat seperti itu.

Saya sudah menyelaminya selama hampir dua tahun. Saya merasakan tim direksi PLN ini benar-benar satu-hati, satu-rasa, dan satu-tekad. Ini sudah dibuktikan ketika PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa besar, direksi sangat kompak menepisnya.

Kekompakan seperti itu yang juga membuat saya semakin bergairah untuk bekerja keras mempercepat transformasi PLN. Saya menyadari waktu tidak banyak. Keinginan untuk bisa segera menjadi orang bebas tidak boleh menyisakan agenda yang menyulitkan masa depan PLN. Itulah sebabnya motto PLN yang lama yang berbunyi “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”, kita ganti untuk sementara dengan motto yang lebih sederhana tapi nyata: Kerja! Kerja! Kerja!

Tanggal 27 Oktober 2011 nanti, bertepatan dengan Hari Listrik Nasional, motto baru itu akan digemakan ke seluruh Indonesia. Kerja! Kerja! Kerja! Sebenarnya ada satu kalimat yang saya usulkan sebelum kata kerja! kerja! kerja! itu. Lengkapnya begini: Jauhi politik! Kerja! Kerja! Kerja!

Tapi teman-teman PLN menyarankan kalimat awal itu dihapus saja agar tidak menimbulkan komplikasi politik. Tentu saya setuju. Saya tahu, berniat menjauhi politik pun bisa kena masalah politik!

Sudah lama saya ingin naik business class yang baru dari Garuda Indonesia. Kesempatan ke Eropa ini saya pergunakan dengan baik. Toh bayar dengan uang pribadi. Saya dengar business classnya Garuda sekarang tidak kalah mewah dengan penerbangan terkenal lainnya. Saya ingin merasakannya. Saya ingin membandingkannya. Kebetulan saat umroh Lebaran lalu saya sempat naik business class pesawat terbaru Emirat A380 yang ada bar-nya itu.

Sejak awal, sejak sebelum menjabat CEO PLN, saya memang mengagumi transformasi yang dilakukan Garuda. Saya dengar di Singapura pun kini Garuda sudah mendarat di terminal tiga. Lambang presitise dan keunggulan. Tidak lagi mendarat di terminal 1 yang sering menimbulkan ejekan “ini kan pesawat Indonesia, taruh saja di terminal 1 yang paling lama itu!”.

Beberapa menit lagi saya akan merasakan untuk pertama kali business class jarak jauh Garuda yang baru. Saya seperti tidak sabar menunggu boarding. Di saat seperti itulah tiba-tiba….“Ini ada tilpon untuk Pak Dahlan,” ujar keluarga saya yang akan sama-sama ke Eropa sambil menyodorkan HP-nya.Telpon pun saya terima. Saya tercenung. “Tidak boleh berangkat! Ini perintah Presiden!” bunyi telpon itu. “Wah, saya kena cekal,” kata saya dalam hati.

Mendapat perintah untuk membatalkan terbang ke Eropa, pikiran saya langsung terbang ke mana-mana.

Ke Wamena yang listriknya harus cukup dan 100% harus dari tenaga air tahun depan. Ke Buol yang baru saya putuskan segera bangun PLTGB (pembangkit listrik tenaga gas batubara) agar dalam 8 bulan sudah menghasilkan listrik.

Ke PLTU Amurang yang tidak selesai-selesai.

Ke Flores yang membuat saya bersumpah untuk menyelesaikan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ulumbu sebelum Natal ini. Saya tahu teman-teman di Ulumbu bekerja amat keras agar sumpah itu tidak menimbulkan kutukan.

Pikiran saya juga terbang Lombok yang kelistrikannya selalu mengganggu pikiran saya. Sampai-sampai mendadak saya putuskan harus ada mini LNG di Lombok dalam waktu cepat. Ini saya simpulkan setelah kembali meninjau Lombok malam-malam minggu lalu. Saya tidak yakin PLTU di sana bisa menyelesaikan masalah Lombok dengan tuntas.

Pikiran saya terbang ke Bali membayangkan transmisi Bali Crossing yang akan menjadi tower tertinggi di dunia.

Ke Banten selatan dan Jabar selatan yang tegangan listriknya begitu rendah seperti takut menyetrum Nyi Roro Kidul.

Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan selesainya PLTU baru dan geothermal Ulubellu.

Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu tiga bulan. Padahal dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000 warga yang harus secara massal pindah mendadak dari listrik koperasi ke listrik PLN.

Pikiran saya juga terbang ke Manna di selatan Bengkulu. Saya kepikir apakah saya masih boleh datang ke Manna tanggal 30 Desember, seperti yang saya janjikan untuk bersama-sama rakyat setempat syukuran terselesaikannya masalah listrik yang rumit di Manna.

Saya terpikir Rengat, Tembilahan, Selatpanjang, Siak dan Bagan Siapi-sapi yang saya programkan tahun depan harus beres.

Saya teringat Medan dan Tapanuli: alangkah hebatnya kawasan ini kalau listriknya tercukupi, tapi juga ingat alangkah beratnya persoalan di situ: proyek Pangkalan Susu yang ruwet, ijin Asahan 3 yang belum keluar, PLTP Sarulla yang bertele-tele dan bandara Silangit yang belum juga dibesarkan.

Pikiran saya terus melayang ke Jambi yang akan jadi percontohan penyelesaian problem terpelik system kelistrikan: problem peaker. Di sana lagi dibangun terminal compressed gas storage (CNG) yang kalau berhasil akan jadi model untuk seluruh Indonesia. Saya ingin sekali melihatnya mulai beroperasi beberapa bulan lagi. Masihkah saya boleh menengok bayi Jambi itu nanti?

Juga ingat Seram di Maluku yang harus segera membangun mini hidro. Lalu bagaimana nasib program 100 pulau harus berlistrik 100% tenaga matahari. Ingat Halmahera, Sumba, Timika…..

Tentu saya juga ingat Pacitan. PLTU di Pacitan belum menemukan jalan keluar. Yakni bagaimana mengatasi gelombang dahsyat yang mencapai 8 meter di situ. Ini sangat menyulitkan dalam membangun breakwater untuk melindungi pelabuhan batubara.

Dan Rabu 23 Oktober lusa saya janji ke Nias. Dan bermalam di situ. Empat bupati di kepulauan Nias sudah bertekad mendiskusikan bersama bagaimana membangun Nias dengan lebih dulu mengatasi masalah listriknya.

Yang paling membuat saya gundah adalah ini: saya melihat dan merasakan betapa bergairahnya seluruh jajaran PLN saat ini untuk bekerja keras memperbaiki diri. Saya seperti ingat satu persatu wajah teman-teman PLN di seluruh Indonesia yang pernah saya datangi.

Dengan pikiran yang gundah seperti itulah saya berdiri. Mengurus pembatalan terbang ke Eropa. Menarik kembali bagasi, membatalkan boarding, mengusahakan stempel imigrasi dan meninggalkan bandara.

Hati saya malam itu sangat galau. Saya sudah terlanjur jatuh cinta setengah mati kepada orang yang dulu saya benci: PLN. Tapi belum lagi saya bisa merayakan bulan madunya saya harus meninggalkannya.

Inikah yang disebut kasih tak sampai?



Dahlan Iskan

CEO PLN

sumber : http://www.pln.co.id/

Selengkapnya...

dream, keep it alive, passion will take you there

“ Setiap orang berhak sukses, setiap orang berhak bahagia. Perjalanan menuju sukes dan bahagia dimulai dari mimpi / cita - cita masing-masing. Jika kita memilih untuk menempuh perjalanan tersebut seperti aliran air maka kita hanya akan sampai pada comberan, sungai, danau, laut atau tempat-tempat lain yang lebih rendah. Namun jika kita menetapkan tujuan hidup (mimpi/cita-cita) dengan jelas maka kita bisa menetapkan jalan mana yang akan kita tempuh agar perjalanan menuju sukses dapat tercapai dengan lebih cepat, lebih baik dan lebih bermakna dengan penuh gairah“.